Sebuah Perjalanan: Chiang Mai, Thailand #2


Udara pagi yang sejuk menemani perjalanan kami saat ini, sesekali kami bertegur sapa dengan warga lokal. Menurut intinerary pada hari kedua kami akan berangkat ke Chiang Rai namun setelah dipikirkan mengenai waktu yang akan dihabiskan dalam perjalanan menuju kesana, kami putuskan untuk membatalkannya. Sehingga, pada hari kedua kami menjalankan intinerary hari ketiga yaitu Baan Tong Luang.

Pakaian Adat di Suku Yao, Desa Baan Tong Luang
Hal pertama yang harus kami lakukan adalah mencari penyewaan motor disekitaran hotel. Kami sempat tersesat hingga bertemu dengan warga sekitar yang dengan baiknya mengantarkan kami ke tempat penyewaan motor. Proses penyewaan tidak memakan waktu lama, cukup menandatangani surat sewa, menyerahkan passport serta uang 200 Baht. Kami disarankan menggunakan matic 2500cc karena tujuan wisata kami akan melalui jalur pegunungan. Motor sudah sepaket dengan helm, ada baiknya cek helm sebelum digunakan kemudian untuk bahan bakar isi sendiri, kami menghabiskan sekitar 50 Baht untuk full tank. 

Belajar Memanah di Suku Lahu, Desa Baan Tong Luang
Sebelum ke Baan Tong Luang, kami akan sarapan di Manna Sticky Rice yang ada di Ravithi sesuai intinerary hari ketiga namun kami tidak menemukan tempat yang dimaksud sehingga kami putuskan untuk mencari sarapan dalam perjalanan menuju Baan Tong Luang. Jalur perjalanan keluar dari kota tua/oldtown cukup padat dengan kendaraan namun setelah memasuki jalur satu arah, arus lalu lintas lancar dan mendekati jalur pegunungan terdapat beberapa belokan tajam dengan kondisi jalan yang mulus.

Baca juga : 
Sebuah Perjalanan: Bangkok, Thailand #3

Selama perjalanan ada banyak penjual buah, warung makan, 7eleven dan tempat wisata lainnya. Kami menghabiskan sekitar 3 jam perjalanan dengan 2 kali berhenti, pertama kali kami menepi untuk sarapan buah dan kedua kami istirahat di 7 eleven sekaligus membeli beberapa cemilan. Sayangnya, kami terlalu menikmati perjalanan sehingga lupa untuk mengabadikan foto.


Menurut saya, perjalanan menuju Baan Tong Luang dengan mengendarai motor termasuk pilihan yang tepat ketika cuaca mendukung seperti udara sejuk pegunungan dan bisa bebas berhenti ketika mendapati spot yang bagus. Kami memasuki sebuah gang yang bertuliskan Baan Tong Luang dengan jalur yang masih alami dan dikelilingi sawah, beruntungnya kami juga disambut oleh pemandangan gajah yang sedang melintas. Tanpa memakan waktu lama terlihat gerbang kedua dengan lahan parkir yang cukup luas menuju loket pembayaran.


Sebelum memasuki kawasan utama desa Baan Tong Luang, kami harus membeli tiket masuk seharga 500 Baht/orang dengan fasilitas map perjalanan. Memasuki gerbang desa, kami disambut oleh seorang gadis desa untuk cek tiket dan menjelaskan beberapa hal yang ada di map dengan berbahasa inggris. Kami memilih ke Baan Tong Luang karena merupakan desa wisata yang menempatkan beberapa suku dalam satu kawasan, suku yang ingin kami temui adalah suku leher panjang atau disebut suku Padong Karen. Sebenarnya suku ini juga ada diperbatasan myanmar namun karena terkendala waktu, kami memutuskan untuk ke Baan Tong Luang sekaligus melihat suku lainnya.


Ada 8 suku yang tinggal di desa wisata Baan Tong Luang, yaitu Kao, Palong, Akha, Lahu, Sgaw Karen, Padong Karen, Kayaw Karen dan Hmong. Desa wisata ini berusaha untuk menggambarkan kehidupan suatu suku dengan menunjukkan aktivitas yang biasa mereka lakukan lengkap dengan rumah adat, pakaian adat serta kegiatan tradisional lainnya. Jadi, selama perjalanan kami banyak menemui kegiatan seperti menenun, memanah, memahat, membatik dan lainnya yang dilakukan oleh masing-masing suku dengan corak serta gaya yang berbeda.

Suku Padong Karen, Desa Baan Tong Luang
Selama disana kami disambut baik oleh setiap suku, walaupun minim interaksi karena terkendala bahasa. Saat kami berada di desa suku Padong Karen, kami sempat menemui seorang gadis belia asal myanmar yang mampu berbahasa inggris dan ternyata dia baru pindah ke desa wisata ini sekitar 2 bulan yang lalu dan usianya 22 tahun sehingga kalung yang melilit lehernya sekarang ada 22 buah. Kami sempat mencobanya dan itu cukup berat sehingga bisa dipastikan dalam waktu lama menggunakannya akan membuat leher bahkan pundak pegal. Disini kami membeli souvenir berupa tempelan kulkas dengan gambar suku Padong Karen seharga 150 Baht.


Desa Baan Tong Luang memberikan gambaran tersendiri bagi saya untuk mengenal suatu suku di era modern saat ini. Mereka yang menetap di desa Baan Tong Luang terutama yang sudah mengenal gadget kadang terlihat sibuk bermain gadgetnya dan sebisa mungkin mereka menyembunyikan benda  tersebut dari pandangan para turis. Saya tidak mempermasalahkan pemandangan seperti itu malah saya cukup berkesan dengan perjuangan mereka untuk mengimbangi era berbeda yang dijalani bersamaan dalam kehidupan mereka.


Dalam perjalanan keluar dari desa wisata, kami memilih untuk melewati sawah dan berfoto sejenak dengan tempat bertuliskan Baan Tong Luang. Sekitar pukul 3 sore, kami memutuskan untuk pulang dan melanjutkan perjalanan menuju Mango Tango yang ada didaerah Niman namun dipertengahan jalan terdapat Suandok Park Market sehingga kami putuskan untuk berhenti disana. 

Suandok Park Market
Banyak pilihan makanan bahkan minuman disana, dari ayam, sushi, spring roll dan kuliner lainnya walaupun ketan mangga yang kami inginkan tidak ada di sana. Kami memutuskan untuk mencari ketan mangga di sekitaran pasar dekat kota tua dan menemukan yang hampir sama seperti Suandok Park Market dengan harga 50 Baht/porsi. Selama memutari kota tua, kami banyak menemukan bazar makanan sehingga tidak sulit untuk mencari makan selama disana.

Setelah mengelilingi kota seharian, saya merasa sudah menjadi salah satu warga lokal karena tidak memerlukan google maps khususnya untuk suami saya yang berada di depan kemudi. Terkadang masih curiga jika akan tersesat namun nyatanya kami kembali kerumah dengan selamat tanpa tersesat. Rasanya tidak sabaran untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya. 


Tidak ada komentar