Pengalaman Menyusui Anak Pertama dengan Baby Blues Syndrome

Foto oleh Dominika Roseclay dari Pexels

Sebelum cerita ini tergerus oleh waktu, saya ingin menceritakannya di sini sebagai pengingat diri bahwa saya merupakan wanita yang sangat hebat dan kuat saat itu.

Proses menyusui bukanlah suatu yang mudah dan sederhana, apalagi setelah melewati persalinan yang menguras tenaga. Setelah melahirkan, tugas utama selain sembuh secepat mungkin adalah menyusui.


Anak saya begitu sering menangis, sulit sekali tertidur, kalaupun tertidur seingat saya hanya 30 menit, ini sangat berbeda dari teori yang saya baca. Tulang saya remuk, rasa lelah begitu menumpuk.

Disini saya mulai mempertanyakan banyak hal, kapan saya bisa beristirahat ? Apakah ASI saya kurang ? Apakah bayi sakit ? Dan pertanyaan lainnya terus bermunculan. Sampai saya berada di titik lelah yang tidak bisa saya kendalikan lagi dan moment itu masih tergambar jelas dalam diri saya.
"Rasa sakit itu masih begitu terasa, tubuh ini remuk, letih dan rasanya ingin segera beristirahat namun suara tangis itu tak henti menggema di ruangan. Suara itu berasal dari sebuah box kaca yang berisi bayi mungil dengan mata yang masih menutup. Suami saya berdiri siaga berjaga disampingnya sambil menatap saya penuh maksud. Iya, saya tahu! Ini waktunya untuk menyusui. Rasa lelah, kesal dan sedih rasanya menjadi satu saat itu."
Setelah 1 hari setengah berada di rumah sakit, akhirnya kami pulang ke rumah dan membuat saya semakin merasa kehilangan arah. Saya hanya berdua suami melewati proses ini tanpa adanya keluarga membuat keadaan terasa semakin sulit. Terutama dalam pekerjaan rumah tangga, walaupun suami sangat membantu tapi saya tidak bisa berharap banyak agar dia melakukan semuanya.

Sampai akhirnya saya mulai menunjukan tanda-tanda baby blues syndrome. Saya terus menangis saat suami berangkat kuliah, saya mulai mempertanyakan kenapa saya memiliki anak, kenapa saya menikah, intinya saya menyesal telah mengambil segala keputusan yang pernah saya ambil. Ditambah, saya harus menerima bahwa berat badan sang anak tidak berada di garis hijau pertumbuhan. Tentu saja, baby blues syndrome telah mempengaruhi produksi asi.

Baca juga : Happy pregnancy! Mempersiapkan kelahiran di Montreal, Kanada

Saya mencoba berbagai hal untuk meningkatkan produksi asi, dari makan daun katuk, teh busui, pijat laktasi, vitamin ASI bahkan power pumping namun semua itu saya sadari tidak akan berjalan maksimal ketika saya tidak menikmati proses menyusui terutama saat malam dan dini hari. Pada bulan ke-empat akhirnya tubuh dan pikiran saya mulai terbiasa dengan keadaan. Apa yang saya lakukan untuk bisa mengatasi baby blues? Saya pergi ke konselor laktasi dan menceritakan semua masalah. Saya hanya butuh orang lain untuk mendengar. Awalnya saya ingin bercerita dengan orang tua bahkan teman namun itu hanya akan membuat mereka khawatir dan saya tidak menginginkan hal itu.

Konselor laktasi yang pertama menyarankan saya untuk fokus mengejar berat badan bayi yang tertinggal dengan menggunakan susu formula melalui selang (breastfeeding with tube). Proses ini dilakukan agar berat badan bayi bisa bertambah tanpa menganggu proses menyusui. Saya menjalani proses ini sampai pemeriksaan berat badan bayi berikutnya dan Alhamdulilah berat badan sang anak kini berada di garis hijau. Selanjutnya, konselor menyerahkan keputusan kepada saya untuk melanjutkan hal ini atau kembali ke proses menyusui biasa.

Sumber Foto : https://intermountainhealthcare.org/ckr-ext/Dcmnt?ncid=520781906
Kemudian saya memutuskan untuk menemui konselor laktasi lainnya untuk meyakinkan keputusan yang akan saya ambil. Hal yang mengejutkan terjadi ketika konselor memvonis anak saya tongue tie. Dia menyarankan untuk melakukan bedah frenotomy namun saya dan suami memutuskan untuk tidak melakukan proses tersebut karena tidak tega dan akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan formula sebagai tambahan untuk mempertahankan berat badan sang anak.

Pemberian susu formula tidak semudah membuatnya. Sang anak lebih sering menolak, ada perasaan lega bisa melakukan DBF (Direct Breastfeeding) secara full namun kekhwatiran juga muncul jika berat badannya turun. Mungkin penolakan yang dia lakukan adalah refleksi dari perasaan saya yang masih bimbang untuk memberikan susu formula. Hal ini berjalan sampai usia 5 bulan dan dokter mengatakan sang anak sudah bisa diberikan Makanan Pendamping Asi (MPASI) berupa bubur halus.

Saya sangat bersyukur pada masa MPASI karena sangat membantu saya untuk mempertahankan berat badan sang anak. Di sini saya juga mulai lebih rilek untuk mencampurkan susu formula pada makanan. Pandangan saya memberikan susu formula dalam botol susu bayi itu sangat menyakitkan karena saya terus berpikir bahwa saya bukan ibu yang semestinya karena tidak bisa menyusui namun jika dicampurkan dengan makanan rasanya berbeda. Padahal keduanya sama tapi saya sadar bahwa saat itu berpikir secara jernih terasa begitu sulit.

Itulah pengalaman menyusui anak pertama saya yang jauh dari kata lancar, semoga cerita ini bisa menemani ibu lainnya yang sedang menyusui, anda tidak sendiri. Pesan saya untuk para ibu percayalah bahwa proses ini akan dilewati dan itu PASTI jadi bersabarlah dan untuk keluarga sekitarnya saya harap berikanlah perhatian lebih kepada sang ibu saat proses menyusui terasa sulit bagi dirinya, berikan semangat dan segala kebutuhannya maka saya yakin proses menyusui bagi sang ibu maupun sang anak akan berjalan indah.

Terimakasih telah menyimak cerita saya, semoga bisa bermanfaat untuk para pembaca sekalian 

Tidak ada komentar